Menyentuh Pemecahan Polemic Stagnasi

on Kamis, 18 Desember 2014


            Kemacetan, mungkin pemandangan itu sudah tidak asing lagi bagi warga ibu kota Jakarta. Hilir mudik kendaraan selalu padat di tiap harinya , terutama pada hari-hari kerja. Tak hanya di kawasan metropolitan saja, namun sedikit bergeser di kota tetangga semacam Bekasi pun ikut berkutat dengan yang namanya kemacetan dan stagnasi. Jam kerja serta jam pulang kerja , fenomena ‘mem-bludag’ nya kendaraan berderet dijalanan sudah tak menjadi hal yang tabu lagi bagi masyarakat sekitar JABODETABEK ( Jakarta, Bogor , Depok, Tangerang, dan Bekasi) .
            Seperti pada pagi hari, sekitar pukul 06.30 WIB di 28 November 2014 , Bekasi – JABAR. Tak saya sangka, begitu tak mengenakkannya terjebak macet di pagi hari . sedangkan kita dalam kondisi di kejar ‘deadline’ pula,  sudah resah dan paniknya bukan main. Terang saja itu dirasaka, karena baru saja angkutan kota nomor 02 yang saya tumpangi kala itu baru beberapa meter tapi kemudian berheneti selama kurang dari 10 menit karena terjebak macet. Kemudian mobil berjalan lagi beberapa meter , lalu disusul macet kembali. Terus menerus seperti itu, tersendat-sendat merayap perlahan untuk menempuh jarak hanya beberapa meter saja. Sampai-sampai waktuku begitu banyak habis di perjalanan. Kupikir ini tak bisa ditolerir lagi, saya tidak bisa terus menunggu di dalam ‘angkot’ saja. Sedangkan sisa waktuku pagi itu sudah hampir ‘over limit’. Akhirnya kuputuskan untuk turun dari “angkot” , dan melanjutkan perjalanan berikutnya dengan menunggangi ‘ojeg’. Iya ,’ojeg’ adalah kendaraan alternative yang banyak dipilih saat kita terjebak macet dijalan. Alhasil, sampailah saya ke tempat tujuan dengan waktu yang tercukupi. Entah bagaimana jadinya kalau saya tetap menunggu di dalam “angkot”, mungkin saya akan tiba ditempat tujuan beberapa jam kedepannya. Itulah sekilas cerita saya dipagi hari 24 November 2014 saat terjebak macet.
            Baru kali pertama saya merasakan kemacetan yang dikejar ‘deadline’ sampai membuat panic dan resah seperti itu, iya, saya baru pertama kalinya merasakan karena saya masih tergolong masyarakat baru yang menetap di daerah tersebut. Kalau sedikit ingin membandingkan, begitu jauh berbeda sekali dengan daerah asalku Haurgeulis-Indramayu. Di Haurgeulis, jarak 100 meter saja dapat ditempuh hanya dalam beberapa menit saja. Mengapa hal itu terjadi? Jawabannya adalah karena “Kendaraan”. Terlalu banyak kendaraan pribadi dan kendaraan umum yang ‘ber-sliweran’ di jalanan kawasan JABODETABEK. Sehingga kesemrawutan pun tak terelakan. Dipagi hari saat udara yang sejuk “seharusnya masih” diperlukan, tetapi hal itu justru sulit didapat untuk kawasan JABODETABEK. Jadi harus ada hal pembenahan yang ekstra tepat untuk menangangi polemic tersebut.
Siapa yang dapat bertanggung jawab untuk membenahi polemic tersebut? Apakah PEMDA setempat ? Bukan. Apakah Dinas atau Kementrian Perhubungan?, bukan juga . lalu siapa?, yaitu tiap individunya dan pemerintah. Butuh dukungan semua pihak untuk mengatasi polemic stagnasi. Subjek-subjek itu yang dapat berbenah dan bertanggung jawab membenahi masalah kemacetan. Bayangkan saja, menurut data Polda Metro Jaya menyebutkan ada sekitar 12 juta kendaraan hilir mudik pada 2011 dijalan-jalan Jakarta. Padahal pada 2010 lalu jumlah kendaraan di Jakarta baru mencapai 11.362.396 unit kendaraan. Terdiri dari 8.244.346 unit kendaraan roda dua dan 3.118.050 unit kendaraan roda empat. Apabila jumlah kendaraan tahun ini ditambah dengan masuknya kendaraan baru sebanyak 700000 kendaraan, termasuk kota JABODETABEK, maka aka nada sekitar 12 juta jumlah kendaraan yang “mengular” di jalan Jakarta setiap hari. Sementara pertumbuhan luas jalan relative tetap, sekitar 0,01% pertahun. Jika tak segaera dilakukan pembenahan system transportasi maka diperkirakan pada tahun 2020 jakarta akan mengalami kemacetan total. Atau tak usah menunggu lama hingga tahun 2020 boleh jadi akan lebih cepat waktunya jika polemic ini diarkan saja tanpa disentuh pemecahan solusinya.
            Selalu rutin, belasan juta jumlah unit kendaraan yang lalu lalang tiap harinya dikota Jakarta dan sekitarnya, itu artinya pula kita harus berebut oksigen bersih dan menghirup oksigen dari udara-udara yang telah bercampur dengan asap kendaraan. Akhirnya kita juga yang kerepotan untuk mendapatkan udara yang bersih. Padahal udara termasuk barang bebas yang secar gratis didapat dan tidak terbatas jumlahnya. Tapi tidak untuk kawasan JABODETABEK, udara bersih terbatas hanya ada pada taman-taman rekreasi dan wisata . yang otomatis kita harus mengeluarkan biaya terlebih dahulu hanya untuk mendapatkan udara yang bersih dan sejuk. Udara yang bersih dan sejuk didapat ketika daerah-daerah tersebut masih banyak ditumbuhi pepohonan. Bukan pohon kecambah atau pohon toge, melainkan pepohonan yang besar yang mampu berfotosistesis lebih banyuak dan menghasilkan udara yang sejuk.
            Langkah awal jika kita ingin membenahii polemic kemacetan, maka konsepnya yaitu dengan “kesadaran”. Kita sudah terlalu lama “tidak sadarnya”, maka jadi lupa apa artinya dari kesadarn itu. Sadar artinya ingat, merasa, dan keinsyafan. Kalau kita sudah merasakan bahwa kemacetan itu hal yang menyebalkan, kalau kita sudah merasakan bahwa udara bersih itu sulit didapatkan di kota ini, maka sadarlah. Karena kita sudah “merasakan” hal itu bukan?! Konsep kesadaran ini tidak hanya diminta oleh satu subjek saja. Tapi perlu dukungan semua pihak seperti yang sudah dipaparkan dari penjelasan sebelumnya. Iya, tiap individu (masyarakat pengguna jalan) dan pemerintah . subjek-subjek ini menekankan dan meningkatkan poin kesadaran. Sadar diri,sadar lingkungan,sadar orang lain,sadar kondisi dan lain-lain. Dari tiap individunya , kesadaran kita diminta ketika harus meminimalkan pengguna kendaraan bermotor dan bermobil pribadi. Di Indonesia, begitu banyak orang saat ini yang sudah mempunyai kendaraan pribadi. Betapa tidak, menurut data Polda Metro Jaya , penambahan modal baru dijakarta rata-rata 250 unit perhari, sedangkan sepeda motor mencapai 1250 unit perhari. Dalam masalah pertambahan unit kendaraan bermotor dan bermobil pribadi pihak yang pertama diuntungkan yaitu jelas industry otomotif. Sedangkan ujung-ujungnya kita sendirilah yang merasakan padat dan riuhnya kendaraan-kendaraan yang menyemut dijalanan. Coba saja kalau kita tiap individu sadar untuk kembali dalam program “go green”, yang “ Bike to work”, “ bike to school” setiap harinya. Mungkin satu,dua,tiga orang masih menerapkan program “go green”. Tapi kemana jumlah sekian ratus jiwa orang lainnya?! Yang lainnya jelas sibuk berkendara dengan kendaraannya masing-masing. Di Negara-negara maju saja seperti, china dan jepang jarang sekali kita temui padatnya kendaraan pribadi dan macet di jalanan. Justru yang banyak dijumpai adalah sekumpulan pejalan kaki. Padahal kita sendiri tahu, bahwa Negara china dan jepang adalah Negara maju serta market dagang globalnya adalah sebagai salah satu Negara yang rajin memproduksi kendaraan-kendaraan berkualitas atau pesat dalam industry otomotifnya. Walaupun produktif dalam memproduksi namun penduduknya sedikit sekali yang berkendaraan pribadai dalam aktivitas nya. Kalau di rasa merepotkan nuntuk bersepda kekantor atau bersepeda ke sekolah, maka cara lain dapat ditempuh “kok”. Asal kuncinya mau “sadar”. Cara lain itu adalan dengan naik “kendaraan umum”. Jadi meminimalkan penggunaan kendaraan pribadi, kemudian beralih memaksimalkan penggunaan kendaraan umum.  Masyarakat Indonesia memang mempunyai selera tinggi, saking tingginya sampai mementingkan nilai “prestisi”. Merasa gengsi untuk menaiki kendaraan umum, terlebih kalau-kalau jabatan kita dikantor atau di tempat kerja sangat disegani. Apa kata dunia kalau saya harus naik angkot ?! rasa malu dan gengsi itu yang memicu kebanyakan individu untuk “ogah” berkendaraan umum. Namun akar masalah dari individu-individu yang enggan beralih kekendaraan umum adalah karena obyek atau kendaraan umumnya itu sendiri. Nah, disinilah kesadaran dari subjek pemerintah diminta. Pemerintah pun sama harus sadar diri, jangan hanya rajin membuat kebijakan-kebijakan tertentu yang berlangsung singkat dengan cara-cara instan. Dari pada mengeluarkan kebijakan-kebijakan berjangka panjang. Cara-cara instan serta kebijakan-kebijakan instan yang pemerintah buat tergambar pada rencana penggelaran proyek-proyek pembangunan jalan baru (jalan tol dalam kota baru) untuk menangani kesemrawutan kemacetan. Pemerintah masih berasumsi kolot, bahwa penambahan panjang jalan mampu mengatasi kemacetan lalu lintas. Padahal kebijakan semacam itulah dinilai mubazir, karena menghambur-hamburkan banyak dana anggaran, kebijakan proyek jalan baru bukan kebijakan jangka panjang. Niatnya pemerintah untuk mengatasi kemacetan padahal hanya “menunda” persoalan macet saja. Karena menurut sebuah penelitian yang dilakukan di California menunjukan bahwa setiap 1% penambahan panjang jalan dalam setiap mil jalur, akan menghasilkan peningkatan kendaraan bermotor sebesar 0,9% dalam waktu lima tahun. (Hanson,1995). Bahkan studi kelayakan pembangunan jalan tol dalam kota Jakarta ( PT. Pembangunan Jaya,Mei 2005) Justru menyatakan bahwa setiap pertambahan jaln sepanjang 1 km di jakarta akan selalu di ikuti dengan pertambahan kendaraan sebanyak 1.923 mobil pribadi. Artinya akan semakin banyak lagi kendaraan-kendaraan bermotor yang datang ke Jakarta, karena adanya jalan raya baru. Jelas bahwa pembangunan jalan baru tidak tepat dalam menangani polemic stagnasi yang telah mengakar.
            Kembali lagi kepokok bahasan awal, bahwa kesemrawutan atau ke “nge-jlimetan” dari transportasi darat itu lebih di utamakan belum adanya pandangan tujuan pemerintah yang matang dalam menyusun system transportasi darat.jika pemerintah sering mencanangkan dan gencar menghimbau masyarakatnya untuk dapat berkendara umum, “maka perbaharuilah terlebih dahulu alat transportasi darat yang nyaman dan memadai bagi masyarakatnya”. Di Indonesia memang transportasi darat yang nyaman dan memadai belum ada, berbeda dengan Negara-negara seperti China, Jepang , bahkan Malaysia, menjadikan Indonesia tertinggal tidak hanya satu atau dua langkah. Melainkan sudah tertinggal empat atau lima langkah dari Negara-negara tetangga tersebut. Sekilas mengingat kembali, masih ingat dengan proyek pemerintah tentang pengadaan MRT (Mass Rapid Transit) dan monorel? Padahal baru pembangunan fase pertama, tapi karena tak terkoordinir dan kurang terorganisasinya kebijakan pemerintah, akhirnya proyek tersebut mandek di awal pembangunan. Kemudian selain itu kita pernah mendengar juga sekilas tentang proyek kereta api bawah tanah (subway)dan juga water way yang memanfaatkan aliran sungai, bukan? Namun nasib proyek tersebut pun sama, karena organisasi antar pemerintah kurang terkoneksi dengan baik, akhirnya proyek subway dan waterway belum terlaksana diadakan. Ujung-ujungnya lagi, kendaraan bermotor serta bermobil pribadilah yang menjadi pilihan untuk beraktivitas bepergian sekalipun jarak bepergiannya dekat dengan jarak rumah atau kantor. Untuk sekitaran kawasan kota JABODETABEK memang sudah memiliki modal transportasi massal seperti kereta api listrik atau KRL atau Commuter Line dan juga Busway. Namun dua modal transportasi darat tersebutpun belum cukup untuk mengangkut pengguna sarana umum, kapasitas transportasi tersebut belum memadai. Terlebih lagi pernah terjadi tindak pelecehan dalam transportasi darat tersebut. Itu menjelaskan bahwa penjagaan serta keamanan transportasi massal yang saat ini ada masih minim pengawasan. Masih jauh dari harapan masyarakat Indonesia khususnya sekitar ibu kota Jakarta. Begitu besar harapan masyarakat umum kepada pemerintah agar dapat menangani permasalahan stagnasi yang telah menjadi bagian budaya itu sendiri atau “image” bagi kota-kota sekitaran Jakarta. Masyarakatpun berharap agar pemerintah dapat melakukan pembangunan segera infrastruktur transportasi umum.
            Apabila proyek-proyek pemerintah tentang pembangunan dan pengadaan infrastruktur transportasi terwujud, entah “kapan” itu waktunya, maka Indonesia tidak menutup kemungkinan dapat bersaing dengan Negara-negara tetangga seperti  Malaysia dan Singapura dalam bidang infrastruktur dan transportasi. Solusinya yaitu asalkan pemerintah tidak setengah hati dalam menyelesaikan masalah-masalah rencana pembangunan infrastruktur, pemerintah juga perlu sadar dan serius dalam mengaplikasikan visi tujuan pembangunan system infrastruktur dan transportasi masal yang nyaman dan memadai. Terutama pembaharuan konsep yang ada dalam sistranas (system transportasi nasional), dimana system tersebut mencakup tatanan transportasi baik didarat, laut dan udara yang terorganisasi agar dapat membentuk system transportasi yang efektif dan efisien bagi masyarakat. Sedangkan untuk masyarakatnya, agar dapat sadar mendukung program-program pemerintah, ketika semua pembenahan satu persatu dapat teratasi. Nampaknya memang masih banyak hal yang harus kita tata ulang bersama untuk menyentuh pemecahan polemic stagnasi. Carut marut system moda transportasi dan kemacetan yang terjadi saat ini butuh dukungan semua pihak jika ingin terwujud, dan tidak bisa langsung teratasi dalam hitungan detik saja. Tetapi ketika konsep kesadaran itu muncul dari masing-masing subjek, maka hal yang tidak mungkin terjadipun dapat terjadi . iya, semoga kita bisa sadar diri dan semua harapan kita dapat terwujudkan dengan segera.

0 komentar:

Posting Komentar