PENGANTAR BISNIS
Minggu ke-10
Pertanyaan
1. Sebutkan langkah-langkah perusahaan dalam merekrut karyawan / pegawai !
2. Sebutkan apa yang dimaksud dengan out sourching dan bagaimana perkembangannya di Indonesia?
3. Sebutkan hukum-hukum yang mengatur hubungan antara tenaga kerja dan manajer !
Jawaban
1.
Proses pelaksanaan rekrutmen dan seleksi biasanya terdiri dari beberapa
langkah atau tahapan. Di bawah ini adalah langkah-langkah yang biasanya
dilakukan dalam pelaksanaan rekrutmen dan seleksi:
• Mengidentifikasi jabatan yang lowong dan berapa jumlah tenaga yang diperlukan.
Proses
rekrutmen dimulai saat adanya bidnag pkerjaan baru di perusahaan,
karyawan dipindahkan atau dipromosikan ke posisi lain, mengajukan
permintaan pengunduran diri, adanya PHK, atau karena pensiun yang
direncanakan. Dengan melihat dinamika dari beberapa hal tersebut dan
mencocokkannya dengan perencanaan sumber daya manusia yang sudah
tersusun (jika ada) maka akan diketahui jabatan apa saja yang sedang
lowong dan berapa jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengisi
jabatan tersebut.
• Mencari informasi jabatan melalui analisa jabatan
Untuk
memperoleh uraian jabatan (job description) dan spesifikasi jabatan
(job spessification) sebagai landasan dalam membuat persyaratan jabatan.
Persyaratan jabatan harus dibuat secara hati-hati dan sejelas mungkin
agar dalam penerapannya nanti tidak ditemui kekaburan-kekaburan yang
mengganggu proses selanjutnya.
• Jika persyaratan jabatan telah tersusun, maka langkah berikutnya adalah menentukan dimana kandidat yang tepat harus dicari.
Dua
alternative untuk mencari kandidat yakni dari dalam perusahaan atau
dari luar perusahaan. Jika diambil dari dalam, apabila kebutuhan staf
untuk masa yang akan datang telah direncanakan, maka perlu juga
diketahui siapa kira-kira karyawan yang ada saat ini yang dapat
dipindahkan atau dipromosikan. Jika kandidat harus dicari dari luar
perusahaan maka perlu dipertimbangan dengan cermat metode rekrutmen yang
tepat untuk mendaptkan kandidat tersebut.
• Memilih metode-metode rekrutmen yang paling tepat untuk jabatan.
Ada
banyak metode rekrutmen yang dapat dipilih oleh perusahaan dalam
melakukan rekrutmen seperti iklan, employee referrals, walk-ins &
write-ins, Depnakertrans, perusahaan pencari tenaga kerja, lembaga
pendidikan, organisasi buruh, dan lain sebagainya. Perusahaan juga dapat
memilih lebih dari satu metode, tergantung situasi dan kondisi yang
terjadi saat itu.
• Memanggil kandidat-kandidat yang dianggap memenuhi persyaratan jabatan
Mengumpulkan
berkas-berkas lamaran mereka, dan meminta mereka mengisi formulir
lamaran pekerjaan yang telah disediakan untuk selanjutnya diproses dalam
tahap seleksi
• Menyaring / menyeleksi kandidat.
Prosedur
seleksi perlu dilakukan jika: 1) pelaksanaan tugas pada jabatan yang
akan diisi memerlukan ciri-ciri fisik dan psikis tertentu yang tidak
dimiliki oleh setiap orang; 2) ada lebih banyak kandidat yang tersedia
dibandingkan jumlah jabatan yang akan diisi. Ada banyak teknik atau
metode seleksi yang dapat digunakan oleh perusahaan. Hal terpenting
untuk diperhatikan adalah bahwa masing-masing teknik seleksi mengukur
karaktristik tertentu, sehingga akan memberi informasi yang berbeda-beda
mengenai kandidat. Pemilihan suatu teknik/metode sebagai predictor
dalam prosedur seleksi sangat tergantung pada: ciri-ciri pekerjaan,
validitas dan reliabilitas metode, persentase calon yang terseleksi, dan
biaya penggunaan teknik tertentu. Beberapa teknik seleksi yang sering
digunakan adalah formulir lamaran, data biografi, referensi dan
rekomendasi, wawancara, test kemampuan dan kepribadian, test
fisik/fisiologis, test simulasi pekerjaan dan assessment center.
• Membuat penawaran kerja.
Setelah
proses seleksi dianggap cukup dan petugas rekrutmen sudah dapat
menentukan kandidat terbaik untuk jabatan tertentu, maka selanjutnya
perlu dipersiapkan penawaran kerja. Termasuk disini adalah mempersiapkan
perjanjian kerja (KKB), memperkenalkan secara lebih mendalam tentang
peraturan dan kondisi kerja di perusahaan, dan memastikan kapan kandidat
akan mulai bekerja. Hal terpenting dalam tahap ini adalah petugas
rekrutmen harus menyiapkan kandidat cadangan untuk berjaga-jaga kalau
kandidat pertama menolak tawaran kerja atau terjadi hal-hal tak terduga.
• Mulai bekerja.
Proses
rekrutmen tidak berhenti begitu saja setelah kandidat menerima
penawaran kerja. Pada saat sudah menjadi pegawai maka yang bersangkutan
masih perlu dibantu agar ia dapat bekerja secara optimal dan bertahan
untuk waktu yang lama. Pegawai yang bersangkutan harus dimonitor dan
dinilai kinerjanya secara teratur, serta diberikan pelatihan dan
pengembangan. Pada tahap ini petugas rekrutmen perlu mengkaji ulang
cara-cara yang dipakai dalam merekrut dan menyeleksi pegawai, hal ini
sangat penting demi mencegah masalah-masalah yang mungkin timbul setelah
pegawai diterima bekerja.
2. Outsourching terbagi
atas dua suku kata: Out dan Sourching. Sourching berarti mengalihkan
kerja, tanggung jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourching
dalam bahasa Indonesia berarti alih daya. Dalam dunia bisnis,
outsourching atau alih daya dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan dalam yang sifatnya non-core atau penunjang oleh
suatu perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh.
Perkembangan Outsourching
Bila
mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
Outsourcing(Alih Daya) dikenal sebagai pemborongan pekerjaan dan
penyediaan jasa tenaga kerja yang diatur pada pasal 64, 65 dan 66.
Disamping itu, Outsourcing ini juga diatur dalam:
1. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.100/Men/VI/2004
Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kepmen 100/2004)
2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004
Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen
101/2004).
3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.220/Men/X/2004 Tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Kepmen
220/2004).
Dalam
Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi
disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu faktor yang
harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke
Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan
menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Dalam UU No.13/2003,
yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65
(terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).
1. Pasal 64: dasar dibolehkannya Outsourcing
2. Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:
1)
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis;
2) pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain,
seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut;
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
- tidak menghambat proses produksi secara langsung.
3) perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum;
4)
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama
dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan
pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan;
5) perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri;
6)
hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian
tertulis antara perusahaan penyedia jasapekerja/buruh dan pekerja/buruh
yang dipekerjakannya;
7) hubungan kerja antara perusahaan
lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT);
8)
bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat
mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang
menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan
kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja
beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan
pemberi pekerjaan (ayat 8).
Prosedur
Dalam Kepmen
101/2004, selain harus berbadan hukum, perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh juga harus memiliki ijin operasional dari instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan (Pasal 2 Kepmen 101/2004).
Selanjutnya juga diatur mengenai materi perjanjian yang
sekurang-kurangnya harus dimuat dalam Perjanjian Kerja antara Penyedia
Jasa Pekerja/Buruh dan Pekerja/Buruh, yaitu (Pasal 4):
1. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa;
2.
Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf
a, hubungan kerja yang terjadi adalah perusahaan penyedia jasa dengan
pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
3. Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus menerus
ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi pergantian perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh.
Disamping ketiga hal diatas, dapat
diatur hal-hal lain dengan ketentuan bahwa hal-hal yang diatur tersebut
tidak boleh merugikan pekerja/buruh atau lebih rendah dari peraturan
perundang-udangan. Terhadap Perjanjian Kerja yang sifatnya sementara
atau PKWT, maka Perjanjian Kerja harus dibuat dalam bahasa Indonesia
untuk menghindari perubahan status menjadi PKWTT apabila dibuat dalam
bahasa asing sejak adanya hubungan kerja (Pasal 15 (1) Kepmen 100/2004).
Perjanjian Kerja ini selanjutnya harus didaftarkan dengan melampirkan
draft Perjanjian Kerjapada instansi yang bertanggung-jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan (Pasal 5 Kepmen 101/2004).
Dalam
hal perusahaan pemberi kerja berada dalam wilayah kabupaten/kota yang
berbeda dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh namun masih dalam
satu provinsi, maka pendaftaran dilakukan pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi, dan apabila berbeda provinsi,
maka pendaftaran dilakukan pada Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial.
Apabila pendaftaran ini tidak dilakukan, maka instansi yang bertanggung
jawab (Menakertrans) akan mencabut ijin operasional perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh tersebut (Pasal 7 Kepmen 101/2004). Hal-hal tersebut
diatas merupakan peraturan pelaksana sebagaimana diatur dalam Pasal 66
UU No. 13 Tahun 2003 Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi
(kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum
status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.
Pada pelaksanaanya, pengalihan ini
juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan.
Secara garis besar permasalahan hukumyang terkait dengan penerapan
Outsourcing adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perusahaan
melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan
pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar
dari pelaksanaan Outsourcing?
2. Bagaimana hubungan hukum antara karyawan Outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing ?
3.
Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bila ada karyawan
Outsourcingyang melanggar aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi
kerja?
1. Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan
Penunjang (Non Core Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan
Outsourcing
Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 Outsourcing
dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi. Dalam penjelasan pasal 66
UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :
”Yang dimaksud dengan
kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok
(core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha
pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi
pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan
pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta
usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.”
Interpretasi yang
diberikan undang-undang ini pada dasarnya masih sangat terbatas
dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana
penggunaanOutsourcing semakin meluas ke berbagai lini kegiatan
perusahaan. Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan
kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan
berkembang secara dinamis. Oleh karena itu tidak heran kalau Alexander
dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan
dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah:
1. Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.
2. Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.
3. Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.
4. Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
Untuk
mencegah terjadinya salah penafsiran mengenai criteria core business
itu sendiri, ada baiknya bahwa setiap perusahaan seharusnya telah
terlebih dahulu telah mengklasifikasikan apa yang menjadi pekerjaan
utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan
kemudian melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat. Hal ini
juga sudah dinyatakan secara implisit dalam Kepmen 220/2004, terkait
dalam melakukan perencanaan untuk melakukanOutsourcing terhadap tenaga
kerjanya. Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan Outsourcing
di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :
1.
Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang
ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja
setempat;
2. Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan Outsourcing pada bagian-bagian tertentu di perusahaan;
3.
Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian
mana saja di perusahaan yang dilakukan Outsourcing terhadap pekerjanya;
4.
Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja,
pemerintah serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan
tentangOutsourcing di Perusahaan.
2. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing
Pada
dasarnya tidak ada hubungan hukum langsung antara Karyawan
Outsourcingdengan perusahaan pemberi pekerjaan karena Perjanjian Kerja
dibuat antara Karyawan Outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh. Dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan
ditempatkan dan bekerja di perusahaan pemberi kerja. Hubungan hukum
hanya terjadi antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh. Namun demikian, Karyawan Outsourcing dalam hal ini
juga harus mentaati Peraturan Perusahaan yang berlaku dalam perusahaan
pemberi kerja, dengan alasan:
1. Karyawan tersebut bekerja di tempat/lokasi perusahaan pemberi kerja;
2.
Standard Operational Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan
pemberi kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu
tercantum dalam peraturan perusahaan pemberi kerja.
Dengan keadaan
ini, maka Karyawan Outsourcing dalam hal ini harus mematuhi dua
peraturan perusahaan sekaligus, yaitu peraturan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi kerja.
Dalam penyediaan jasa pekerja, ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:
1) Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh ;
2) Perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan
Dengan
adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari
bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai
karyawan perusahaan penyedia pekerja.
Perjanjian kerja antara
karyawan outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja. Hal ini
dimaksudkan apabila perusahaan pemberi kerja hendak mengakhiri kerja
samanya dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, maka pada waktu
yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan
perusahaan pemberi kerja. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan
dalam Outsourcingadalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk
perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna
jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai
dengan perkembangan perusahaan. Dalam UU No. 13 Tahun 2003, ketentuan
mengenai PKWT diatur dalam pasal 57, 58 dan 59 jo Kepmen 100/2004. Dalam
Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003, PKWT hanya dapat dibuat untuk:
1. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya;
2.
Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya tidak terlalu lama atau
paling lama tiga tahun (2 tahun diawal dan 1 tahun perpanjangan);
3. Pekerjaan yang bersifat musiman;
4.
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atauproduk
tambahan yang masih dalam proses percobaan atau penjajakan.
Perpanjangan
kontrak PKWT dapat dilakukan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sebelum
Perjanjian Kerja berakhir. Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya
pekerjaan tertentu, namun karena kondisi tertentu pekerjaan teersebut
belum dapat diselesaikan, maka dapat dilakukan pembaharuan PKWT setelah
melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya
perjanjian kerja.
Terhadap PKWT atas pekerjaan musiman, berarti
pekerjaannya tergantung pada musim dan cuaca dan hanya untuk satu jenis
pekerjaan saja. Terhadap pekerjaan ini tidak dapat dilakukan pembaharuan
PKWT (Pasal 7 Kepmen 100/2004).
Berikut skema PKWT:
Karyawan
outsourcing walaupun secara organisasi berada di bawah perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh, namun pada saat rekruitmen, karyawan
tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan pemberi
kerja. Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja berakhir, maka berakhir
juga perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
dengan karyawannya.
3. Penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing (Alih Daya)
Dalam
pelaksanaan Outsourcing berbagai potensi perselisihan mungkin timbul,
misalnya berupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan
Outsourcingmaupun adanya perselisihan antara karyawan Outsourcing dengan
karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun
2003, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Jadi walaupun yang dilanggar
oleh karyawan Outsourcing adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan,
yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh. Dalam hal terjadi pelanggaran yang
dilakukan pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan
pengguna jasa pekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena
antara perusahaan pemberi kerja dengan karyawan Outsourcing secara hukum
tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh, walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan
perusahaan pengguna jasa pekerja (user).
3. Hukum-hukum yang mengatur hubungan antara hubungan tenaga kerja dan manager tercantum dalam UU
No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. UU ini mencakup aspek yang sangat luas antara lain
mengenai :
a. Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;
b. Pelatihan kerja;
c. Penempatan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja;
d. Penggunaan tenaga kerja asing;
e. Hubungan kerja dan perjanjian kerja;
f. Perlindungan tenaga penyandang cacat, anak dan perempuan;
g. Ketentuan waktu kerja dan waktu istirahat;
h. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;
i. Ketentuan pengupahan dan perlindungan upah;
j. Lembaga-lembaga hubungan industrial;
k. Peraturan perusahaan dan perjanjian kerjasama;
l. Ketentuan mogok dan penutupan perusahaan;
m. Pemutusan hubungan kerja dan pesangon;
n. Pembinaan dan pengawasan, serta
o. Penyidikan dan sanksi.